Kamis, 05 Januari 2017

“MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN”



MATA KULIAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI




 

Anggota :
1.      Rahman Parentio                              (18214789)
2.      Wadyan Ikhwansyah                        (1C214111)
3.      Yopih Sri Yuzanah                           (1C214462)

Kelas : 3EA48




FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi dan melengkapi tugas aspek hukum dalam ekonomi. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini
kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :

1.      Orang tua yang selalu mendukung kami.
2.      Ibu Khotdijah Eksyar selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan pengarahan, dan dorongan dalam rangka menyelesaikan penyusunan makalah ini.
3.      Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.

Dengan demikian,
kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan pembaca mengenai perlindungan konsumen dalam kehidupan kita. Amiin Yaa Rabbal ’Alamiin.




Tangerang, 19 Oktober 2016















BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang atau jasa konsumen dalam pergaulan hidup. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain memiliki keterkaitan dan ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.
Hal ini juga tercantum didalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen yang menyebutkan bahwa “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”Oleh karena itu, berbicara mengenai perlindungan konsumen berarti mempersoalkan mengenai jaminan ataupun kepastian mengenai terpenuhinya hak-hak konsumen. Sebagaimana yang diketahui bahwa dengan adanya Globalisasi dan perkembangan perekonomian yang terjadi secara pesat di dalam era perekonomian modern ini telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari barang atau jasa yang dapat  dikonsumsi oleh masyarakat.
Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang atau jasa yang di inginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa di sadari, konsumen menerima begitu saja barang atau jasa yang di konsumsinya. Untuk itu maka sangat diperlukan adanya suatu hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen bagi masyarakat yang ada dimanapun mereka berada. Dengan adanya hukum perlindungan konsumen tersebut maka masyarakat akan lebih terjamin hak-haknya sebagai konsumen





B. Rumusan Masalah
1.      Apakah definisi konsumen?
2.      Bagaimana azas dan tujuan konsumen ?
3.      Apakah hak dan kewajiban konsumen ?
4.      Apakah hak dan kewajiban pelaku usaha ?
5.      Apa perbuatan yang dilarang dilakukan bagi pelaku usaha?
6.      Apa tangggung jawab pelaku usaha ?
7.      Apa saja jenis-jenis sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar?

C. Tujuan
Bedasarkan rumusan masalah diatas, kami akan memberikan beberapa tujuan dari peulisan makalah ini, diantaranya adalah :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsumen.
2.      Untuk mengetahui bagaimana azas dan tujuan konsumen.
3.      Untuk mengetahui hak dan kewajiban sebagai konsumen.
4.      Untuk mengetahui hak dan kewajiban sebagai pelaku usaha.
5.      Untuk mengetahui hal-hal atau perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha
6.      Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.
7.      Untuk mengetahui sanksi terhadap perlindungan konsumen.







BAB II
PEMBAHASAN
2.1Pengertian konsumen
Banyak para ahli yang mencoba mendefinisikan pengertian dari konsumen. Berikut ini akan dijelaskan pengertian konsumen menurut beberapa sumber :
·         Menurut para ahli hukum “konsumen adalah sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka oleh penguasa”.
·         Menurut philip kotler pengertian konsumen “adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk di konsumsi pribadi”.
·         Menurut aziz nasution “konsumen pada umumnya adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu”.
·         Menurut uu no.8 tahun 1999 ayat 1  “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam  masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
Jadi, dari seluruh pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian konsumen adalah seseorang ataupun sekelompok orang baik rumah tangga maupun organisasi yang membeli barang ataupun jasa untuk dikonsumsi baik kepentingannya sendiri maupun untuk hal lainnya
2.2 Jenis-jenis konsumen
Ada dua jenis konsumen, yaitu :        
Ø  Konsumen antara
Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa untuk digunakan dengan tujuan komersial atau dengan kata lain, mereka membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan. Contoh  : distributor, agen dan pengecer.

Ø  Konsumen akhir
Konsumen akhir  adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan barang atau jasa untuk tujuan memenuhi hidupnya pribadi, keluarga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
2.3 Asas dan Tujuan
UU perlindungan konsumen adalah salah satu upaya pemerintah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya pasal 3 undang undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
·         Meningkatkan  kesadaran, kemampuan, dan  kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·         Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari dampak negatif pemakaian  barang dan/atau jasa.
·         Meningkatkan  pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
·         Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
·         Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
·         Meningkatkan  kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam  pasal 2 undang undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen adalah :
·         Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan uu no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen harus memberikan  manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku  usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
·         Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di pasal 4 – 7 uu no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
·         Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
·         Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan uu no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen akan  memberikan  jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·         Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh  keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.


2.4 Hak dan kewajiban konsumen
Sebelum membahas mengenai hak konsumen, sebaiknya kita memahami dulu pengertian hak. Dalam pengertian  hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Hak untuk konsumen sendiri diatur dalam pasal 4 dan 5. Berikut ini adalah hak konsumen menurut uu no.8 tahun 1999 :
·         Hak atas kenyamanan, keamanan, dan  keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
·         Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
·         Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
·         Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
·         Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
·         Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
·         Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
·         Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau  jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.




Sedangkan itu, kewajiban konsumen menurut uu no.8 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
·         Membaca atau  mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau  pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi  keamanan dan keselamatan.
·         Beritikad baik dalam  melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
·         Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
·         Mengikuti upaya penyelesaian  hukum  sengketa perlindungan konsumen.

2.5 Hak dan kewajiban pelaku usaha :
Sebelum membahas mengenai hak pelaku usaha, sebaiknya kita memahami dulu pengertian hak. Dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Hak untuk pelaku usaha sendiri diatur dalam pasal 6 dan 7. Berikut ini adalah hak pelaku usaha menurut uu no.8 tahun 1999 :
·         Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan menganai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
·         Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
·         Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
·         Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.






Sedangkan kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut :

1.      Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2.      Melakukan konfirmasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemilaharaan.
3.      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif : pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan : pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
4.      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
5.      Menjamin kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yg dibuat/diperdagangkan.
6.      Memberi kompetensi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian & pemanfaatan barang yang diperdagangkan.
7.      Memberi kompetensi, ganti rugi/ penggantian apabila barang yang dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2.6 Perbuatan yang dilarang  dilakukan oleh Pelaku Usaha
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha terdapat pada uu no.8 tahun 1999 pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 16 dan pasal 17. Untuk lebih lengkapnya mengenai pasal-pasal tersebut, bisa dilihat dibawah ini :

·         Pasal 8
A.    Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa seperti :
1.      Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang undangan
2.      Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut
3.      Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
4.      Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, e-tiket atau keterangan barang atau jasa tersebut
5.      Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
6.      Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan jasa tersebut
7.      Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan atau  pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu
8.      Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label
9.      Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat
10.  Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku

B.     Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.
C.     Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
D.    Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

·         Pasal 9
A.    Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan jasa secara tidak benar, seolah-olah :
1.      Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
2.      Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru.
3.      Barang dan jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
4.      Barang dan jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
5.      Barang dan jasa tersebut tersedia.
6.      Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
7.      Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
8.      Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
9.      Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain.
10.  Menggunakan katakata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap.
11.  Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

B.     Barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
C.     Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan jasa tersebut.

·         Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
1.    Harga atau tarif suatu barang dan jasa.
2.    Kegunaan suatu barang dan jasa.
3.    Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu
barang dan jasa.
4.    Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
5.    Bahaya penggunaan barang dan jasa.

·         Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui atau menyesatkan konsumen dengan :
1.    Menyatakan barang atau jasa tersebut seolaholah telah memenuhi standar mutu tertentu.
2.    Menyatakan barang atau jasa tersebut seolaholah tidak mengandung cacat tersembunyi.
3.    Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual  barang lain.
4.    Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
5.    Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud  menjual jasa yang lain.
6.    Menaikkan harga atau tarif barang atau jasa sebelum melakukan obral.

·         Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang atu jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jila pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan atau diiklankan.

·         Pasal 13
A.    Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan jasa lain secara cumacuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
B.     Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain.

·         Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
A.    Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan
B.     Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa
C.     Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan
D.    Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

·         Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

·         Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa melalui pesanan dilarang untuk :
A.    Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan.
B.     Tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi.

·         Pasal 17
A.    Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
1.      Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan jasa.
2.      Mengelabui jaminan atau garansi terhadap barang atau jasa.
3.      Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan jasa.
4.      Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan jasa.
5.      Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
6.      Melanggar etika dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

B.     Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

2.7 Tanggung jawab pelaku usaha
Tanggung jawab pelaku usaha adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung jawab pelaku usaha terdapat dalam pasal 19, pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 24, pasal 25, pasal 26, pasal 27dan pasal 28 uu no.8 tahun 1999.untuk lebih lengkapnya mengenai pasal-pasal tersebut, bisa dilihat dibawah ini :
·         Pasal 19
A.    Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
B.     Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
C.     Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
D.    Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
E.     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

·         Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

·         Pasal 21
A.    Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negri.
B.     Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

·         Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4), pasal 20, dan pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

·         Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.



·         Pasal 24
A.    Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila :

1.      Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang atau jasa tersebut.
2.      Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

B.     Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan jasa tersebut.

·         Pasal 25
A.    Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.

B.     Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :
1.      Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan.
2.      Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

·         Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan  yang diperjanjikan.

·         Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
A.    Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan.
B.     Cacat barang timbul pada kemudian hari.
C.     Cacat timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
D.    Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
E.     Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

·         Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 22, dan pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha.

2.8 SANKSI
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi atau menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian.
1.      Sanksi perdata ganti rugi dalam bentuk pengembalian uang, penggantian barang atau penawaran kesehatan, dan pemberian santunan ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah transaksi. Sanski administrasi maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25.

2.      Sanksi Pidana yaitu Penjara selama 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18. Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f.  Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.

3.      Hukuman tambahan antara lain :
A.    Pencabutan izin usaha.
B.     Dilarang memperdagankan barang dan jasa.
C.     Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
D.    Hasil pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat.

2.9   Contoh Kasus
Dalam dekade terakhir ini telah terjadi pergeseran paradigma di kalangan pelaku usaha di Eropa dan sejumlah negara maju dalam melihat pengaduan konsumen. Awalnya pengaduan konsumen dilihat sebagai suatu aib, hal yang harus dihindari dan dikonotasikan bermakna negatif. Namun sekarang justru dimaknai sebaliknya. Pengaduan adalah bentuk atensi konsumen kepada pelaku usaha. Semakin banyak pengaduan, semakin banyak atensi konsumen dan berarti bisnis ini punya masa depan. Dengan banyaknya pengaduan, pelaku usaha mendapatkan feedback berharga dari konsumen dan berarti terbuka kesempatan untuk selalu meng-improve mutu produk berupa barang dan jasa. Sehingga tidak aneh apabila ada pelaku usaha yang memberikan penghargaan/hadiah sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada konsumen yang mengadu karena telah memberi masukan berharga bagi pelaku usaha.

Kasus Prita Mulyasari vs Rs.  Omni Internasional

Namun tidak demikian halnya yang dialami konsumen di Indonesia. Kasus yang dialami Prita Mulyasari adalah salah satu contoh. Ketika Prita sebagai konsumen menuliskan keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Intenasional yang tidak memuaskan. Seharusnya Prita wajar untuk mengajukan keluhan. Prita "bukan tanpa hak" untuk menyampaikan keluhannya, disamping itu yang disampaikan juga bukan sesuatu yang bersifat fitnah. Prita Mulyasari benar-benar konsumen yang merasakan ketidakpuasan atas pelayanan konsumen. Namun pihak Rumah Sakit Omni Internasional tidak menanggapi positif komplain tersebut dan menyelesaikannya seacra kekeluargaan, ia justru diperkarakan, dituduh melakukan kejahatan karena telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Prita kemudian ditahan karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.



Pada tanggal 11 Mei 2009 Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan perdata pihak rumah sakit dengan menyatakan Prita terbukti melakukan perbuatan yang merugikan pihak rumah sakit sehingga harus membayar kerugian materiil sebesar Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian imateriil. Pada tanggal 13 Mei 2009 oleh Kejaksaan Negeri Tangerang Prita dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta dinyatakan harus ditahan karena dikhawatirkan akan melarikan diri serta menghilangkan barang bukti. Pada tanggal 3 Juni 2009 Prita dibebaskan dari LP Wanita Tangerang, dan status tahanan diubah menjadi tahanan kota. Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 Pengadilan Negeri Tangerang mencabut status tahanan kota.

Walaupun Prita tak perlu menjalani hukuman penjara, asalkan ia tidak mengulangi perbuatannya dalam kurun percobaan itu, putusan MA ini tetap mengusik rasa keadilan publik. Majelis kasasi MA dalam kasus Prita gagal memahami arti pentingnya pengaduan, tidak hanya bagi Prita selaku konsumen, tapi juga bagi RS Omni selaku pelaku usaha dan bagi pemerintah (Kementerian Kesehatan) selaku regulator di bidang layanan kesehatan.

Bagi konsumen, pengaduan adalah simbol kebangkitan hak-hak konsumen. Salah satu hak fundamental konsumen adalah hak untuk didengar suaranya, di mana di dalamnya ada hak buat menyampaikan keluhan/pengaduan kepada pelaku usaha (Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Tidak hanya UU Perlindungan Konsumen, berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasien juga punya hak untuk menyampaikan keluhan, termasuk hak buat mengutarakan pengalaman negatif sebagai pasien di media massa.


Bagi rumah sakit selaku penyedia jasa, pengaduan juga sangat dibutuhkan dalam mendapatkan feedback dari konsumen, untuk selanjutnya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya selalu meng-improve kualitas layanan kepada konsumen. Bagi Kementerian Kesehatan, pengaduan konsumen dapat dijadikan sebagai sarana kontrol atas layanan kesehatan yang ada di masyarakat. Memang sudah ada pejabat Kementerian Kesehatan, tapi mata konsumen jauh lebih banyak, sehingga partisipasi konsumen dalam melakukan pengawasan melalui pengaduan jauh lebih efektif.
Salah satu ciri negara yang iklim perlindungan konsumennya bagus adalah adanya tradisi komplain (complaint habit) yang tinggi. Dibanding sejumlah negara, kebiasaan mengadu di kalangan konsumen Indonesia masih rendah.

Putusan pengadilan (termasuk MA) yang baik selalu dapat diuji dari tiga aspek: kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Putusan MA dalam kasus Prita tidak memenuhi tiga aspek di atas. Kepastian hukum seperti apa yang akan ditunjukkan MA? Sebab, putusan MA dalam kasus Prita justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Konsumen, yang oleh UU Perlindungan Konsumen dan UU Rumah Sakit dijamin serta dilindungi ketika mengadu, justru diganjar pidana oleh MA.
Kemanfaatan untuk siapa yang ingin disasar MA? RS Omni selaku pengadu dalam kasus ini pun tidak mendapat manfaat. Justru sebaliknya putusan MA membangkitkan kembali antipati publik terhadap RS Omni Internasional.

Keadilan bagi siapa yang hendak dituju MA? Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Prita adalah potret kegagalan MA dalam mewujudkan pengadilan sebagai rumah keadilan bagi konsumen, tapi justru sebaliknya pengadilan menjadi sumber ketidakadilan baru bagi konsumen.

Kasus penahanan yang menimpa Prita Mulyasari memunculkan gelombang protes serta dukungan dari para blogger, praktisi teknologi informasi, hukum, hingga para politisi, dan pejabat negara. Beberapa kalangan menilai Prita tidak layak ditahan serta hanya menjadi korban penyalahgunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Komunitas di dunia maya pun menggalang solidaritas Koin Keadilan atau Koin untuk Prita sebagai bentuk simpati mereka terhadap Prita.



 












BAB III
PENUTUP
3.1            Kesimpulan
Perlindungan konsumen sangat di butuhkan untuk masyarakat luas karna dengan adanya perlindungan konsumen membuat masyarakat akan terjamin kepastian dan hak-haknya. Dan juga harus ada peran aktif dari Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta  pengawas atas jalannya hukum dan Undang-Undang tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi saat ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang diakibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah. Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar tercipta harmonisasi tujuan antara produsen dan konsumen.  

3.2            Saran
Demi terciptanya keharmonisan atau keserasian antara konsumen dengan produsen perlu ditingkatkan kembali perlindungan terhadap konsumen agar tidak ada kecurangan atau kesalah pahaman antara pihak konsumen dan produsen.  Pemerintah harus ikut peran aktif dan hukum harus tegas dalam menaungi hak-hak untuk perlindungan konsumen.









DAFTAR PUSTAKA
Ø  http://ylki.or.id/wp-content/uploads/2015/04/UNDANG-UNDANG.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar