MATA KULIAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
Anggota
:
1. Rahman Parentio (18214789)
2. Wadyan Ikhwansyah (1C214111)
3. Yopih Sri Yuzanah (1C214462)
Kelas
: 3EA48
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi dan melengkapi tugas aspek hukum dalam ekonomi. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
1.
Orang tua yang selalu
mendukung kami.
2.
Ibu Khotdijah
Eksyar selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan pengarahan, dan dorongan dalam rangka menyelesaikan penyusunan
makalah ini.
3. Semua pihak
yang tidak dapat disebut satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam
penulisan makalah ini.
Dengan demikian, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan pembaca mengenai perlindungan konsumen dalam kehidupan kita. Amiin Yaa Rabbal ’Alamiin.
Tangerang, 19 Oktober 2016
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Perlindungan
konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah yang
bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan
konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak
satu sama lain yang berkaitan dengan barang atau jasa konsumen dalam pergaulan
hidup. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai
dimensi yang satu sama lain memiliki keterkaitan dan ketergantungan antara
konsumen, pengusaha dan pemerintah.
Hal
ini juga tercantum didalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 mengenai perlindungan
konsumen yang menyebutkan bahwa “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.”Oleh karena
itu, berbicara mengenai perlindungan konsumen berarti mempersoalkan mengenai
jaminan ataupun kepastian mengenai terpenuhinya hak-hak konsumen. Sebagaimana
yang diketahui bahwa dengan adanya Globalisasi dan perkembangan perekonomian
yang terjadi secara pesat di dalam era perekonomian modern ini telah
menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari barang atau jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.
Jika
tidak berhati-hati dalam memilih produk barang atau jasa yang di inginkan,
konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak
bertanggung jawab. Tanpa di sadari, konsumen menerima begitu saja barang atau
jasa yang di konsumsinya. Untuk itu maka sangat diperlukan adanya suatu hukum
yang mengatur tentang perlindungan konsumen bagi masyarakat yang ada dimanapun
mereka berada. Dengan adanya hukum perlindungan konsumen tersebut maka
masyarakat akan lebih terjamin hak-haknya sebagai konsumen
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah definisi konsumen?
2.
Bagaimana azas dan tujuan konsumen ?
3.
Apakah hak dan kewajiban konsumen ?
4.
Apakah hak dan kewajiban pelaku usaha ?
5.
Apa perbuatan yang dilarang dilakukan bagi pelaku
usaha?
6.
Apa tangggung jawab pelaku usaha ?
7.
Apa saja jenis-jenis sanksi bagi pelaku usaha yang
melanggar?
C. Tujuan
Bedasarkan rumusan masalah diatas, kami akan memberikan beberapa tujuan
dari peulisan makalah ini, diantaranya adalah :
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsumen.
2.
Untuk mengetahui bagaimana azas dan tujuan konsumen.
3.
Untuk mengetahui hak dan kewajiban sebagai konsumen.
4.
Untuk mengetahui hak dan kewajiban sebagai pelaku
usaha.
5.
Untuk mengetahui hal-hal atau perbuatan yang dilarang
dilakukan oleh pelaku usaha
6.
Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha terhadap
konsumen.
7.
Untuk mengetahui sanksi terhadap perlindungan
konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Pengertian
konsumen
Banyak para ahli yang mencoba mendefinisikan pengertian dari
konsumen. Berikut ini akan dijelaskan pengertian konsumen menurut beberapa
sumber :
·
Menurut
para ahli hukum “konsumen adalah sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa
yang diserahkan kepada mereka oleh penguasa”.
·
Menurut
philip kotler pengertian konsumen “adalah semua individu dan rumah tangga yang
membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk di konsumsi pribadi”.
·
Menurut
aziz nasution “konsumen pada umumnya adalah setiap orang yang mendapatkan
barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu”.
·
Menurut uu
no.8 tahun 1999 ayat 1 “konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
Jadi, dari seluruh pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengertian konsumen adalah seseorang ataupun sekelompok orang baik rumah tangga
maupun organisasi yang membeli barang ataupun jasa untuk dikonsumsi baik
kepentingannya sendiri maupun untuk hal lainnya
2.2
Jenis-jenis konsumen
Ada dua jenis konsumen, yaitu :
Ø Konsumen
antara
Konsumen
antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa untuk digunakan
dengan tujuan komersial atau dengan kata lain, mereka membeli barang bukan
untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan. Contoh : distributor, agen dan pengecer.
Ø Konsumen
akhir
Konsumen
akhir adalah setiap orang yang
mendapatkan dan menggunakan barang atau jasa untuk tujuan memenuhi hidupnya
pribadi, keluarga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
2.3
Asas dan Tujuan
UU perlindungan konsumen adalah salah satu upaya
pemerintah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi
pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya pasal 3 undang
undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah:
·
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·
Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari dampak negatif
pemakaian barang
dan/atau jasa.
·
Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen.
·
Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
·
Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
·
Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen
sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 undang undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen adalah :
·
Asas
manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan uu no.8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan
pelaku usaha.
Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak
lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
·
Asas
keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di pasal 4 – 7 uu no.8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen
serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat
memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
·
Asas
keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen,
pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak
yang lebih dilindungi.
·
Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan uu no.8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·
Asas
kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
2.4
Hak dan kewajiban konsumen
Sebelum membahas mengenai hak konsumen, sebaiknya kita memahami
dulu pengertian hak. Dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang
dilindungi oleh hukum. Hak untuk konsumen sendiri diatur dalam pasal 4 dan 5.
Berikut ini adalah hak konsumen menurut uu no.8 tahun 1999 :
·
Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
·
Hak untuk
memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
·
Hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
·
Hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
·
Hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
·
Hak untuk
mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
·
Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
·
Hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
itu, kewajiban konsumen menurut uu no.8 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
·
Membaca
atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
·
Beritikad
baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
·
Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
·
Mengikuti
upaya penyelesaian
hukum sengketa perlindungan konsumen.
2.5 Hak dan
kewajiban pelaku
usaha
:
Sebelum membahas mengenai hak pelaku usaha, sebaiknya kita
memahami dulu pengertian hak. Dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan
hukum yang dilindungi oleh hukum. Hak untuk pelaku usaha sendiri diatur dalam
pasal 6 dan 7.
Berikut ini adalah hak pelaku
usaha menurut uu no.8 tahun 1999 :
·
Hak untuk menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan menganai kondisi dan nilai tukar barang
atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
·
Hak untuk melakukan
pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
·
Hak untuk rehabilitasi
nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak
diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak-hak yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut :
1. Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Melakukan
konfirmasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemilaharaan.
3. Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif :
pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan :
pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
4. Menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
5. Menjamin
kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba serta
memberikan jaminan dan/atau garansi
atas barang yg dibuat/diperdagangkan.
6. Memberi
kompetensi, ganti
rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian &
pemanfaatan barang yang diperdagangkan.
7. Memberi
kompetensi, ganti rugi/ penggantian apabila barang
yang dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
2.6 Perbuatan
yang dilarang dilakukan oleh Pelaku
Usaha
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha terdapat pada uu no.8
tahun 1999 pasal
8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal
16 dan pasal 17. Untuk lebih lengkapnya mengenai pasal-pasal tersebut, bisa
dilihat dibawah ini :
·
Pasal 8
A. Pelaku usaha dilarang memproduksi
atau memperdagangkan barang atau jasa seperti :
1. Tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang undangan
2. Tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut
3. Tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya
4. Tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, e-tiket atau keterangan barang atau jasa tersebut
5. Tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut
6. Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan jasa tersebut
7. Tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang
tertentu
8. Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label
9. Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat
10. Tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku
B. Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang
dimaksud.
C. Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar.
D. Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan
barang atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
·
Pasal 9
A. Pelaku usaha dilarang menawarkan,
memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan jasa secara tidak benar,
seolah-olah :
1. Barang
tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu.
2. Barang
tersebut dalam keadaan baik atau baru.
3. Barang
dan jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori
tertentu.
4. Barang
dan jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan
atau afiliasi.
5. Barang
dan jasa tersebut tersedia.
6. Barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
7. Barang
tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
8. Barang
tersebut berasal dari daerah tertentu.
9. Secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain.
10. Menggunakan
katakata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap.
11. Menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
B. Barang
dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
C. Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan jasa tersebut.
·
Pasal 10
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan mengenai :
1. Harga
atau tarif suatu barang dan jasa.
2. Kegunaan
suatu barang dan jasa.
3. Kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu
barang
dan jasa.
4. Tawaran
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
5. Bahaya
penggunaan barang dan jasa.
·
Pasal 11
Pelaku
usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang,
dilarang mengelabui atau menyesatkan konsumen dengan :
1. Menyatakan
barang atau jasa tersebut seolaholah telah memenuhi standar mutu tertentu.
2. Menyatakan
barang atau jasa tersebut seolaholah tidak mengandung cacat tersembunyi.
3. Tidak
berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain.
4. Tidak
menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah yang cukup dengan maksud
menjual barang yang lain.
5. Tidak
menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain.
6. Menaikkan
harga atau tarif barang atau jasa sebelum melakukan obral.
·
Pasal 12
Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang atu
jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jila
pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesai dengan waktu
dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan atau diiklankan.
·
Pasal 13
A. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan
jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan jasa lain
secara cumacuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya.
B. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan
dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain.
·
Pasal 14
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
A. Tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan
B. Mengumumkan
hasilnya tidak melalui media massa
C. Memberikan
hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan
D. Mengganti
hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
·
Pasal 15
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun
psikis terhadap konsumen.
·
Pasal 16
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan jasa melalui pesanan dilarang untuk :
A. Tidak
menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan.
B. Tidak
menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi.
·
Pasal 17
A. Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
1. Mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang atau
tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan jasa.
2. Mengelabui
jaminan atau garansi terhadap barang atau jasa.
3. Memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan jasa.
4. Tidak
memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan jasa.
5. Mengeksploitasi
kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan.
6. Melanggar
etika dan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan.
B. Pelaku
usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan
pada ayat (1).
2.7 Tanggung jawab pelaku usaha
Tanggung
jawab pelaku usaha adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah
dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena
cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung jawab pelaku usaha terdapat
dalam pasal 19, pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 24, pasal 25,
pasal 26, pasal 27dan pasal 28 uu no.8 tahun 1999.untuk lebih lengkapnya mengenai
pasal-pasal tersebut, bisa dilihat dibawah ini :
·
Pasal 19
A. Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan
atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.
B. Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku.
C. Pemberian
ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
D. Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
E. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
·
Pasal 20
Pelaku
usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat
yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
·
Pasal 21
A. Importir
barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi
barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negri.
B. Importir
jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa
asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
·
Pasal 22
Pembuktian
terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 19 ayat (4), pasal 20, dan pasal 21 merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan
pembuktian.
·
Pasal 23
Pelaku
usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi
ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat
(1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian
sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan
konsumen.
·
Pasal 24
A. Pelaku
usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila :
1. Pelaku
usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas
barang atau jasa tersebut.
2. Pelaku
usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan
contoh, mutu, dan komposisi.
B. Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang dan jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang dan jasa tersebut.
·
Pasal 25
A. Pelaku
usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu
sekurangkurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang atau fasilitas
purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
B. Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti
rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :
1. Tidak
menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan.
2. Tidak
memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
·
Pasal 26
Pelaku
usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang
disepakati dan yang diperjanjikan.
·
Pasal 27
Pelaku
usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen, apabila :
A. Barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan.
B. Cacat
barang timbul pada kemudian hari.
C. Cacat
timbul akibat tidak ditaatinya
ketentuan mengenai kualifikasi barang.
D. Kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen.
E. Lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
·
Pasal 28
Pembuktian
terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19, pasal 22, dan pasal 23 merupakan beban dan
tanggungjawab pelaku usaha.
2.8 SANKSI
Dalam
pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut
telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha
diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard
rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan,
kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang
rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan
klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen di dalam dokumen atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b )
2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi atau menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan jasa.
Dari
ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh
para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan
oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha
untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota
pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering
ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak
dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain
bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula
tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU
no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi
seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”
automatis batal demi hukum.
Namun
dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula
tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping
pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah
tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal
harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut
jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana
pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara
dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta
rupiah.
Dalam
kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau
pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu
banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU
Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah
perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau
lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap
dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian.
1. Sanksi
perdata ganti rugi dalam bentuk pengembalian uang, penggantian barang atau
penawaran kesehatan, dan pemberian santunan ganti rugi diberikan dalam tenggang
waktu 7 hari setelah transaksi. Sanski administrasi maksimal Rp. 200.000.000
(dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3),
20, 25.
2. Sanksi
Pidana yaitu Penjara selama 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar
rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan
Pasal 18. Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
(Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f. Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang
No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit
berat, cacat tetap atau kematian.
3. Hukuman
tambahan antara lain :
A. Pencabutan izin usaha.
B. Dilarang
memperdagankan barang dan jasa.
C. Wajib
menarik dari peredaran barang dan jasa.
D. Hasil
pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat.
2.9 Contoh Kasus
Dalam
dekade terakhir ini telah terjadi pergeseran paradigma di kalangan pelaku usaha
di Eropa dan sejumlah negara maju dalam melihat pengaduan konsumen. Awalnya
pengaduan konsumen dilihat sebagai suatu aib, hal yang harus dihindari dan
dikonotasikan bermakna negatif. Namun sekarang justru dimaknai sebaliknya.
Pengaduan adalah bentuk atensi konsumen kepada pelaku usaha. Semakin banyak
pengaduan, semakin banyak atensi konsumen dan berarti bisnis ini punya masa
depan. Dengan banyaknya pengaduan, pelaku usaha mendapatkan feedback
berharga dari konsumen dan berarti terbuka kesempatan untuk selalu meng-improve
mutu produk berupa barang dan jasa. Sehingga tidak aneh apabila ada pelaku
usaha yang memberikan penghargaan/hadiah sebagai bentuk ucapan terima kasih
kepada konsumen yang mengadu karena telah memberi masukan berharga bagi pelaku
usaha.
Kasus Prita Mulyasari vs Rs. Omni Internasional
Namun
tidak demikian halnya yang dialami konsumen di Indonesia. Kasus yang dialami
Prita Mulyasari adalah salah satu contoh. Ketika Prita sebagai konsumen menuliskan keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni
Intenasional yang tidak memuaskan. Seharusnya Prita wajar
untuk mengajukan keluhan. Prita "bukan tanpa hak" untuk menyampaikan
keluhannya, disamping itu yang disampaikan juga
bukan sesuatu yang bersifat fitnah. Prita Mulyasari benar-benar konsumen yang
merasakan ketidakpuasan atas pelayanan konsumen. Namun pihak Rumah Sakit Omni Internasional tidak
menanggapi positif komplain tersebut dan menyelesaikannya seacra kekeluargaan, ia
justru diperkarakan,
dituduh melakukan kejahatan karena telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni
Internasional. Prita
kemudian ditahan karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Pada tanggal 11 Mei 2009 Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan perdata pihak rumah sakit dengan menyatakan Prita terbukti melakukan perbuatan yang merugikan pihak rumah sakit sehingga harus membayar kerugian materiil sebesar Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian imateriil. Pada tanggal 13 Mei 2009 oleh Kejaksaan Negeri Tangerang Prita dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta dinyatakan harus ditahan karena dikhawatirkan akan melarikan diri serta menghilangkan barang bukti. Pada tanggal 3 Juni 2009 Prita dibebaskan dari LP Wanita Tangerang, dan status tahanan diubah menjadi tahanan kota. Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 Pengadilan Negeri Tangerang mencabut status tahanan kota.
Walaupun
Prita tak perlu menjalani hukuman penjara, asalkan ia tidak mengulangi
perbuatannya dalam kurun percobaan itu, putusan MA ini tetap mengusik rasa
keadilan publik. Majelis kasasi MA dalam kasus Prita gagal memahami arti
pentingnya pengaduan, tidak hanya bagi Prita selaku konsumen, tapi juga bagi RS
Omni selaku pelaku usaha dan bagi pemerintah (Kementerian Kesehatan) selaku
regulator di bidang layanan kesehatan.
Bagi konsumen, pengaduan adalah simbol kebangkitan hak-hak konsumen. Salah satu hak fundamental konsumen adalah hak untuk didengar suaranya, di mana di dalamnya ada hak buat menyampaikan keluhan/pengaduan kepada pelaku usaha (Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Tidak hanya UU Perlindungan Konsumen, berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasien juga punya hak untuk menyampaikan keluhan, termasuk hak buat mengutarakan pengalaman negatif sebagai pasien di media massa.
Bagi rumah sakit selaku penyedia jasa, pengaduan juga sangat dibutuhkan dalam mendapatkan feedback dari konsumen, untuk selanjutnya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya selalu meng-improve kualitas layanan kepada konsumen. Bagi Kementerian Kesehatan, pengaduan konsumen dapat dijadikan sebagai sarana kontrol atas layanan kesehatan yang ada di masyarakat. Memang sudah ada pejabat Kementerian Kesehatan, tapi mata konsumen jauh lebih banyak, sehingga partisipasi konsumen dalam melakukan pengawasan melalui pengaduan jauh lebih efektif.
Salah
satu ciri negara yang iklim perlindungan konsumennya bagus adalah adanya
tradisi komplain (complaint habit) yang tinggi. Dibanding sejumlah
negara, kebiasaan mengadu di kalangan konsumen Indonesia masih rendah.
Putusan
pengadilan (termasuk MA) yang baik selalu dapat diuji dari tiga aspek:
kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Putusan MA dalam kasus Prita tidak
memenuhi tiga aspek di atas. Kepastian hukum seperti apa yang akan ditunjukkan
MA? Sebab, putusan MA dalam kasus Prita justru menimbulkan ketidakpastian
hukum. Konsumen, yang oleh UU Perlindungan Konsumen dan UU Rumah Sakit dijamin
serta dilindungi ketika mengadu, justru diganjar pidana oleh MA.
Kemanfaatan
untuk siapa yang ingin disasar MA? RS Omni selaku pengadu dalam kasus ini pun
tidak mendapat manfaat. Justru sebaliknya putusan MA membangkitkan kembali
antipati publik terhadap RS Omni Internasional.
Keadilan bagi siapa yang hendak dituju MA? Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Prita adalah potret kegagalan MA dalam mewujudkan pengadilan sebagai rumah keadilan bagi konsumen, tapi justru sebaliknya pengadilan menjadi sumber ketidakadilan baru bagi konsumen.
Keadilan bagi siapa yang hendak dituju MA? Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Prita adalah potret kegagalan MA dalam mewujudkan pengadilan sebagai rumah keadilan bagi konsumen, tapi justru sebaliknya pengadilan menjadi sumber ketidakadilan baru bagi konsumen.
Kasus penahanan yang menimpa Prita Mulyasari memunculkan gelombang protes serta dukungan dari para blogger, praktisi teknologi informasi, hukum, hingga para politisi, dan pejabat negara. Beberapa kalangan menilai Prita tidak layak ditahan serta hanya menjadi korban penyalahgunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Komunitas di dunia maya pun menggalang solidaritas Koin Keadilan atau Koin untuk Prita sebagai bentuk simpati mereka terhadap Prita.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perlindungan konsumen sangat di butuhkan untuk
masyarakat luas karna dengan adanya perlindungan konsumen membuat masyarakat akan
terjamin kepastian dan hak-haknya. Dan juga harus ada peran aktif dari
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum
dan Undang-Undang tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan
fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi saat ini
agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada
pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk
memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang
diakibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi
yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar tercipta
harmonisasi tujuan antara produsen dan konsumen.
3.2
Saran
Demi terciptanya keharmonisan atau keserasian antara
konsumen dengan produsen perlu ditingkatkan kembali perlindungan terhadap
konsumen agar tidak ada kecurangan atau kesalah pahaman antara pihak konsumen
dan produsen. Pemerintah harus ikut
peran aktif dan hukum harus tegas dalam menaungi hak-hak untuk perlindungan
konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Ø http://ylki.or.id/wp-content/uploads/2015/04/UNDANG-UNDANG.pdf